Rabu, 08 Juni 2011

Kasus-Kasus Etika Dan Moral Di Dunia


Kasus-Kasus  Etika Dan Moral Di Dunia
A.  Kasus-Kasus Etika Dan Moral
1. Kasus Panca Satria Hasan Kusuma – Indonesia
Sebuah permohonan untuk melakukan euthanasia pada tanggal 22 Oktober 2004 telah diajukanoleh seorang suami bernama Panca Satria Hasan Kusuma karena tidak tega menyaksikan istrinya yang bernama Agian Isna Nauli, 33 tahun, tergolek koma selama 3 bulan pasca operasi Caesar dan disamping itu ketidakmampuan untuk menanggung beban biaya perawatan merupakan suatu alasan pula. Permohonan untuk melakukan euthanasia ini diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Kasus ini merupakan salah satu contoh bentuk euthanasia yang diluar keinginan pasien. Permohonan ini akhirnya ditolak oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dan setelah menjalani perawatan intensif maka kondisi terakhir pasien (7 Januari 2005) telah mengalami kemajuan dalam pemulihan kesehatannya.
2. Kasus Rudi Hartono – Indonesia
Koma selama 3,5 bulan setelah menjalani operasi di RSUD Pasar Rebo pada bulan Oktober 2004dengan diagnosa hamil di luar kandungan. Namun setelah dioperasi ternyata hanya ada cairan di sekitar rahim. Setelah diangkat, operasi tersebut mengakibatkan Siti Zulaeha, 23 tahun mengalami koma dengan tingkat kesadaran di bawah level binatang. Sang suami, Rudi Hartono25 mengajukan permohonan euthanasia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada tangggal 21 Februari 2005. Permohonan yang ditandatangani oleh suami, orang tua serta kakak dan adik Siti Zulaeha.
3.  Kasus Seorang Wanita New Jersey – Amerika Serikat
                    Seorang perempuan berusia 21 tahun dari New Jersey, Amerika Serikat, pada tanggal 21 April 1975 dirawat di rumah sakit dengan menggunakan alat bantu pernapasan karena kehilangan kesadaran akibat pemakaian alkohol dan zat psikotropika secara berlebihan. Oleh karena tidak tega melihat penderitaan sang anak, maka orang tuanya meminta agar dokter menghentikan pemakaian alat bantu pernapasan tersebut. Kasus permohonan ini kemudian dibawa ke pengadilan, dan pada pengadilan tingkat pertama permohonan orang tua pasien ditolak, namun pada pengadilan banding permohonan dikabulkan sehingga alat bantu pun dilepaskan pada tanggal 31 Maret 1976. Pasca penghentian penggunaan alat bantu tersebut, pasien dapat bernapas spontan walaupun masih dalam keadaan koma. Dan baru sembilan tahun kemudian, tepatnya tanggal 12 Juni 1985, pasien tersebut meninggal akibat infeksi paru-paru (pneumonia).
4. Kasus Terri Schiavo
Terri Schiavo (usia 41 tahun) meninggal dunia di negara bagian Florida, 13 hari setelah Mahkamah Agung Amerika memberi izin mencabut pipa makanan (feeding tube) yang selama ini memungkinkan pasien dalam koma ini masih dapat hidup. Komanya mulai pada tahun 1990 saat Terri jatuh di rumahnya dan ditemukan oleh suaminya, Michael Schiavo, dalam keadaan gagal jantung. Setelah ambulans tim medis langsung dipanggil, Terri dapat diresusitasi lagi, tetapi karena cukup lama ia tidak bernapas, ia mengalami kerusakan otak yang berat, akibat kekurangan oksigen. Menurut kalangan medis, gagal jantung itu disebabkan oleh ketidakseimbangan unsure potasium dalam tubuhnya. Oleh karena itu, dokternya kemudian dituduh malapraktek dan harus membayar ganti rugi cukup besar karena dinilai lalai dalam tidak menemukan kondisi yangmembahayakan ini pada pasiennya.Setelah Terri Schiavo selama 8 tahun berada dalam keadaan koma, maka pada bulan Mei 1998suaminya yang bernama Michael Schiavo mengajukan permohonan ke pengadilan agar pipa alat bantu makanan pada istrinya bisa dicabut agar istrinya dapat meninggal dengan tenang, namun orang tua Terri Schiavo yaitu Robert dan Mary Schindler menyatakan keberatan dan menempuh langkah hukum guna menentang niat menantu mereka tersebut. Dua kali pipa makanan Terri dilepaskan dengan izin pengadilan, tetapi sesudah beberapa hari harus dipasang kembali atas perintah hakim yang lebih tinggi. Ketika akhirnya hakim memutuskan bahwa pipa makanan boleh dilepaskan, maka para pendukung keluarga Schindler melakukan upaya-upaya guna menggerakkan Senat Amerika Serikat agar membuat undang-undang yang memerintahkan pengadilan federal untuk meninjau kembali keputusan hakim tersebut. Undang-undang ini langsung didukung oleh Dewan Perwakilan Amerika Serikat dan ditandatangani oleh Presiden George Walker Bush. Tetapi, berdasarkan hukum di Amerika kekuasaan kehakiman adalah independen, yang pada akhirnya ternyata hakim federal membenarkan keputusan hakim terdahulu.
5. Kasus “Doctor Death”
Dr. Jack Kevorkian yang dijuluki “Doctor Death”, seperti dilaporkan Lori A. Roscoe. Pada awal April 1998, di Pusat Medis Adven Glendale, di California diduga puluhan pasien telah “ditolong” oleh Kevorkian untuk menjemput ajalnya di RS tersebut. Kevorkian berargumen apa yang dilakukannya semata demi “menolong” mereka. Tapi para penentangnya menyebut, apa yang dilakukannya adalah pembunuhan.
6. Kasus Rumah Sakit Boramae – Korea
Pada tahun 2002, ada seorang pasien wanita berusia 68 tahun yang terdiagnosa menderita penyakit sirosis hati (liver cirrhosis). Tiga bulan setelah dirawat, seorang dokter bermarga Park umur 30 tahun, telah mencabut alat bantu pernapasan (respirator) atas permintaan anak perempuan si pasien. Pada Desember 2002, anak lelaki almarhum tersebut meminta polisi untuk memeriksa kakak perempuannya beserta dua orang dokter atas tuduhan melakukan pembunuhan. Seorang dokter yang bernama dr. Park mengatakan bahwa si pasien sebelumnya telah meminta untuk tidak dipasangi alat bantu pernapasan tersebut. 1 minggu sebelum meninggalnya, si pasien amat menderita oleh penyakit sirosis hati yang telah mencapai stadium akhir, dan dokter mengatakan bahwa walaupun respirator tidak dicabutpun, kemungkinan hanya dapat bertahan hidup selama 24 jam saja.
7. Dokter DO melakukan eutanasia sukarela
Pada tahun 1994, sebuah laporan yang dipublikasikan dalam British Medical Journal menunjukkan bahwa dokter Inggris melakukan praktek euthanasia sukarela, meskipun hukum. Penelitian oleh Ward dan Tate, dari Cambridge University, menemukan bahwa 32% dari dokter yang disurvei telah menyetujui permintaan pasien untuk diberikan pengobatan untuk membantu mereka mati lebih cepat Sebagian besar - 46% - mengatakan mereka akan mempertimbangkan untuk memberikan pengobatan untuk membantu seseorang mati jika itu adalah hukum untuk melakukannya. Pada bulan November 1997, 200 dokter menanggapi sebuah survei yang dilakukan oleh majalah Pulse.. Survei mengungkapkan bahwa 93 dokter (47%) telah diberi pengobatan untuk mengurangi kematian pasien. 49% mengatakan bahwa mereka telah dalam posisi di mana mereka merasa bahwa mengurangi kematian pasien, selain dengan tujuan untuk menghilangkan gejala saja, adalah hal yang benar untuk dilakukan.
B.  Pembahasan

1.      Pengertian
Euthanasia biasanya didefinisikan sebagai tindakan membawa tentang kematian orang yang tak berdaya sakit dan penderitaan dengan cara yang relatif cepat dan tanpa rasa sakit karena alasan belas kasihan. Dalam laporan ini, istilah euthanasia akan menandakan administrasi medis dari agen mematikan ke pasien untuk tujuan meringankan penderitaan
 pasien ditolerir dan tidak dapat disembuhkan.

Menurut istilah Kedokteran
Eutahanasia berarti tindakan agar kesakitan atau penderitaan yang dialami seseorang yang akan meninggal diperingan.
Mempercepat kematian seseorang yang ada dalam kesakitan dan penderitaan hebat menjelang kematiannya.

2.      Jenis Euthanasia
a.       Euthanasia Aktif
Mematikan / menghilangkan nyawa seseorang yang dilakukan dengan sengaja.
Misalnya dikarnakan kondisi penyakit pasien tersebut sudah sangat parah /  misalnya pasien tersebut menderita penyakit yang sudah stadium akhir dan tidak mungkin sembuh /bertahan lama. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tidak menyetujui Euthanasia aktif. Pasalnya hal itu tidak sesuai dengan etika, moral, agama, budaya, serta peraturan perundang-undangan yang ada. Secara etika, tugas dokter adalah memelihara dan memperbaiki kehidupan seseorang, bukan mencabut nyawa atau menghentikan hidup seseorang.

b.      Euthanasia Pasif
Tindakan berupa penghentian pengobatan pasien yang sudah akut, dikarnakan mungkin karna penyakit yang tidak bisa  disembuhkan atau kondisi ekonomi pasien terbatas.

3.      Metode Euthanasia
v  Euthanasia Sukarela
v  Euthanasia Non Sukarela
v  Euthanasia Tidak Sukarela
v  Bantuan Bunuh Diri

4.      Prosedur Euthanasia

a.       Euthanasia Agresif
Memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida atau menyuntikan zat-zat yang mematikan kedalam tubuh pasien

b.      Euthanasia Non Agresif
Seseorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk tidak mekukan perawatan medis dan pasien tersebut mengetahui bahwa penolakan tersebut akan memperpendek dan mengakhiri hidupnya

c.       Euthanasia Pasif
Dengan sengaja tidak ( lagi ) memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien.

5.      Alasan Euthanasia
·         Adanya hak moral bagi setiap orang untuk mati terhormat, maka seseorang mempunyai hak memilih cara kematiannya
·         Tindakan belas kasihan pada seseorang yang sakit, meringankan penderitaan sesama adalah tindakan kebajikan
·         Tindakan belas kasihan pada keluarga pasien
·         Mengurangi beban ekonomi

6.      Pendapat Tentang  Kasus-Kasus Euthanasia Dilihat Dari Berbagai Aspek

1. Dari Aspek Hukum
Undang undang yang tertulis dalam KUHP Pidana hanya melihat dari dokter sebagai pelaku utama euthanasia, khususnya euthanasia aktif dan dianggap sebagai suatu pembunuhan berencana, atau dengan sengaja menghilangkan nyawa seseorang. Sehingga dalam aspek hukum, dokter selalu pada pihak yang dipersalahkan dalam tindakan euthanasia, tanpa melihat latar belakang dilakukannya euthanasia tersebut. Tidak perduli apakah tindakan tersebut atas permintaan pasien itu sendiri atau keluarganya, untuk mengurangi penderitaan pasien dalam keadaan sekarat atau rasa sakit yang sangat hebat yang belum diketahui pengobatannya.  

2. Aspek Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia selalu dikaitkan dengan hak hidup, damai dan sebagainya. Tapi tidak tercantum dengan jelas adanya hak seseorang untuk mati. Mati sepertinya justru dihubungkan dengan pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini terbukti dari aspek hukum euthanasia yang cenderung menyalahkan tenaga medis dalam euthanasia. Sebetulnya dengan dianutnya hak untuk hidup layak dan sebagainya, secara tidak langsung seharusnya terbersit adanya hak untuk mati, apabila dipakai untuk menghindarkan diri dari segala ketidak nyamanan atau lebih tegas lagi dari segala penderitaan yang hebat.


3. Aspek Pengetahuan
Pengetahuan kedokteran dapat memperkirakan kemungkinan keberhasilan upaya tindakan medis untuk mencapai kesembuhan atau pengurangan penderitaan pasien. Apabila secara ilmu kedokteran hampir tidak ada kemungkinan untuk mendapatkan kesembuhan ataupun pengurangan penderitaan, apakah seseorang tidak boleh mengajukan haknya untuk tidak diperpanjang lagi hidupnya? Segala upaya yang dilakukan akan sia sia, bahkan sebaliknya dapat dituduhkan suatu kebohongan, karena di samping tidak membawa kepada kesembuhan, keluarga yang lain akan terseret dalam pengurasan dana.

4. Aspek Agama
Kelahiran dan kematian merupakan hak dari Tuhan sehingga tidak ada seorangpun di dunia ini yang mempunyai hak untuk memperpanjang atau memperpendek umurnya sendiri. Pernyataan ini menurut ahli ahli agama secara tegas melarang tindakan euthanasia, apapun alasannya. Dokter bisa dikategorikan melakukan dosa besar dan melawan kehendak Tuhan yaitu memperpendek umur. Orang yang menghendaki euthanasia, walaupun dengan penuh penderitaan bahkan kadang kadang dalam keadaan sekarat dapat dikategorikan putus asa, dan putus asa tidak berkenan dihadapan Tuhan.

Ketua Komisi Fatwa MUI mengeluarkan fatwa yang haram tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). Euthanasia itu kan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin
Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin Hidayatullah.com--Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) KH Ma'ruf Amin mengatakan MUI telah lama mengeluarkan fatwa yang mengharamkan dilakukannya tindakan Euthanasia (tindakan mematikan orang untuk meringankan penderitaan sekarat). "Euthanasia, menurut fatwa kita tidak diperkenankan, karena itu kan melakukan pembunuhan," kata KH Ma`ruf Amin. Euthanasia dalam keadaan aktif maupun dalam keadaan pasif, menurut fatwa MUI, tidak diperkenankan karena berarti melakukan pembunuhan atau menghilangkan nyawa orang lain. Lebih lanjut, KH Ma'ruf Amin mengatakan, Euthanasia boleh dilakukan dalam kondisi pasif yang sangat khusus.

5. Aspek Sosial Dan Budaya
Dilihat dari aspek social, tindakan euthanasia  termsuk tindakan yang tidak berprikemanusiaan karena menghilangkan nyawa seseorang padahal nyawa seseorang merupakan hak seseorang.
     Dilihat dari aspek budaya, di Indonesia euthanasia tidak diperbolehkan karena tidak sesuai dengan budaya Indonesia, karna di Indonesian masih nenjunjung tinggi budaya timur yaitu rasa kemanusiaan yang masih tinggi. Sedangkan di luar negeri, sudah ada Negara yang memperbolehkan euthanasia bahkan euthanasia pada anak kecil karna mungkin sesuai dengan budaya Negara tersebut.


















DAFTAR PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar